Jumat, 26 Maret 2010

Unjuk Rasa

UNJUK RASA
Demi pertigaan yang lama menyemak pikiran, kuungkapkan saja ke dalam bait-bait kerinduan. Demi langkah pulang yang lama menyemut di kaki, kuselonjorkan saja rasaku ke dalam frasa-frasa rindu. Demi ladang-ladang yang lama menimbun harapan, kusemaikan saja ke dalam benih-benih kasihmu.
Bilik rindu yang kuhuni sudah ribuan waktu ini, terasa semakin usang berkerudung sarang sepi. Hari-hari dilingkupi hutan jati, tiada pandang lepas ke kanan dan ke kiri. Di belakang berayun langit melinang bukit dengan airmata-airmata sufi. Di depan melaut samodra kehidupan berarak ombak serta merta memberontak.
Kampung rindu ini gemulai di tengah keajaiban bukit. Memandang ke bawah gamang semata curam, melangit pun kuncup menerjal kerucut. Keliling kanan kiri dan belakang bukit-bukit tak terhitung jumlahnya merimbun kalang. Ke depan menatap cakrawala pandang menyeberang samudera lengkung pelangi tak tergadaikan.
Senja peradaban yang sunyi menyekat waktu siang dan malam, menari bayang kemilau jingga kemerahan yang mesra, terkapar …
Malam menamparnya dengan tepuk legam hingga sunyi remuk redam, menghitamkan segala harapan dengan desah yang terputus-putus. Gemeretak sesekali ada yang datang kukira hewan pemangsa malam yang menjalankan kodratnya mencari. Liukan perut lengket lapar keseharian kadang menepis lubang pernafasan yang menahan debaran rasa tidak karuan. Beriring lagu kematian yang putus asa tertahan-tahan pula.
Puncak kegelapan malam terkapar dikejutkan kokok kokok ayam hutan bersahutan menyambut pagi. Dini hari sepi dingin berkutat dalam gigilan selimut langit yang rontog mengembunkkan dedaunan dan reranting. Mimpi keji di beranda sunyi terjebak irama burung bernyanyi.
Unjuk rasa tanpa henti hingga pagi menari-nari. Dendang sunyi menyambut takdir terasa pikir meluncur pergi. Aromanya harum mawar melati menyejuk jiwa terbit mentari. Jangan dikata musuh telah pergi usai revolusi, sebab mereka mekar di dalam diri.

Dialog Ular dan Ubi

Dialog Ular dan Ubi 

 
Dua makhluk terjebak di ladang harapan. Berdebat antara pikiran dan perasaan. Memporakporandakan semak belukar dan perdu-perdu yang tengah merindu laju.



Ular  : (berhenti  di depan Ubi sambil tetap berlenggang lenggok sejak lehar hingga kepala, walu tubuh diam ekor tetap berkeliaran) “Kwak… kwak … kwak … akulah raja penari sepanjang jalan”
Ubi   : (sembunyi di dalam semak ilalang dengan tubuh terkapar) “Berjalan saja harus meliuk kelok, huh … dasar pikiranmu memang bengkok!”
Ular  : “Kwak … kwak … kwak… Bah! Tak tahu diuntung kau ini. Diri semata sepi, berani-beraninya kau colek badanku yang molek?!”
Ubi   : “Xixixixixi…. Molek apaan? Udah jelek mudah mencaci maki karena iri….”
Ular  : “Kwak … kwak … kwak… Cih!  Iri…? Apa yang dapat kuirikan dari persona jelata macam kamu? Hah?!”
Ubi   : “Aku ini disuka manusia, sedang Kau musuhnya yang tak berguna! … Aku bangga mengabdi pada lidah manusia bukan pada lidah jelekmu itu!”
Ular  : ““Kwak … kwak … kwak… Bah! Kurangajar kau berkata. Tak tahukah kau kalau lidahku ini berbisa tinggi. Sekali saja ku muak denganmu kan kusembur kau pasti hancur lebur badan tak terkubur”
Ubi   : “Xixixixixi … Sombong amat kau ular jelek ! Tidakkah kau tahu juga tubuhku ini berkalang garam. Lakukanlah jika kau berani!”
Ular  : (Mendengar celoteh ubi, berhenti menari, berhenti memaki. Dalam pikir mempertimbangkan kejadian ngeri kalau benar kulit ubi berkalang garam. Seumur hidupnya ia takut bersentuh dengan garam. Entah kenapa. Barangkali karena memang kodratnya. Pikiran kerdilnya tak menjangkau lagi untuk berkata-kata. Beberapa saat lamanya ia tidak bergeming menatap ubi dengan tatapan yang jauh bertubi-tubi. Pikiran tercenung merenungi tantangan ubi. Diri terkurung lamunannya sendiri dalam dilema antara rasa takut dan berani.)

Ubi   : (Terkesima kata sendiri. Betapa sesal dengan kebohongan yang terlanjur ia ucapkan. Demi melihat ular berhenti memaki, perasaan bersalah menjalar di sekujur tubuhnya. Seumur hidup baru hari ini dia berbohong. Ia sangat yakin bahwa kulit tubuhnya tiada bergaram, melainkan jika dimasak manusia.  Betapa terkejutnya kala kebohongannya berpengaruh besar pada sesama mkhluk, terutama ular. Nuraninya tak menjangkau lagi untuk berkata. Beberapa lamanya ia tidak bergeming menatap ular dengan tatapan yang jauh bertubi-tubi. Pikiran tercenung merenungi nasib pecundang ular. Diri pun terkurung lamunannya sendiri dalam dilema antara kejujuran dan kebohongan.)
Ular  : “….”
Ubi   : “….”
Kedua makhluk itu taklagi berkata-kata. Pikiran dan perasaannya menjadi beku tiba-tiba. Semakin beku hingga tertutup semak belukar dan perdu-perdu yang terus tumbuh melaju.