Upaya Peningkatan Mutu Guru Melalui Agupena
http://agupena.org 21:56:20 06/03/2007 1169 pembaca
I. Rasional
Menulis identik dengan berpikir, semakin teratur dan jernih pikiran seseorang, semakin teratur dan jernih pula tulisan yang dihasilkannya. Disisi lain, membaca berarti “mengisi” neuron dengan informasi yamg akan terus melekat hingga seseorang menemui ajalnya. Otak manusia sejatinya adalah kumpulan dari 10 milyar neuron yang tersambung satu sama lain. Neuron menghasilkan reaksi biokimia untuk menerima, memproses dan “memancarulang” informasi yang diterima.
Jika seseorang “malas” membaca, atau membaca bahan bacaan/berita “murahan” itu berarti yang bersangkutan membiarkan neuron-nya “menganggur” kosong tak berisi, atau kalaupun berisi, isinya hanyalah informasi yang tidak memberi nilai tambah bagi produktifitas dan kecerdasannya. Neuron yang kosong membuat pikiran seseorang menjadi “kerdil dan mati suri” akibatnya dapat ditebak pikiran dan pola pikir (mindset) nya tidak teratur dan tidak jernih, kemampuannya dalam menulis pun sama dengan atau mendekati nol! Berangkat dari konteks ini patut kita merenung kenapa ayat pertama dari kitab suci Al Qur’an yang turun adalah; “Iqra bismi rabbika” (bacalah dengan nama tuhanmu) bukan – misalnya - “Ya ayyuhannas ana rabbukum” (Hai manusia aku adalah tuhanmu).
Menulis dan membaca adalah sumber tumbuh dan berkembangnya peradaban. Umat Islam mengetahui dan dapat membaca surah dalam Al Qur’an karena wahyu Allah ini ditulis pada lembaran pelepah kurma, kulit binatang, tulang, dan batu, sebelum kemudian Sayidina Abu Bakar memerintahkan pengumpulan tulisan dalam sebuah mushaf. Dengan membaca Al Qur’an, umat mengetahui apa saja yang diperintahkan Allah, dan apa yang dilarang-Nya, dari sini tumbuh peradaban Islam yang pernah berjaya di abad pertengahan.
Meski belum ada penelitian yang mendalam tentang hal ini, pola pikir kebanyakan orang Indonesia dapat dikatakan “kacau”. “Kekacauan” ini lebih disebabkan tidak tumbuhnya budaya membaca dan menulis sebagai akibat proses pembodohan yang dilakukan oleh kolonialisme dan kroni-kroninya selama berabad-abad.
Pembuktian tentang “kekacauan” berpikir dapat dilihat dari biasnya seseorang atau kelompok orang dalam melihat masalah. Banjir besar yang melanda Jakarta pada Februari 2007 disebut sebagai “banjir lima tahunan”, padahal masalah banjir adalah masalah air yang selalu mencari tempat yang rendah yang sering disebut dengan; Daerah Aliran Sungai (DAS), sementara DAS yang menjadi “hak” nya air sudah diisi dengan segala macam bangunan beton.
Bukti lain. Dalam silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), untuk aspek kognitif (pengetahuan), pada kolom indikator secara umum para guru lebih sering menulis; Siswa mengetahui, Siswa memahami, dan Siswa mampu melakukan atau menerapkan. Mengetahui, Memahami, dan Menerapkan adalah kognitif level rendah. Kalau hanya ini yang diberikan pada siswa, sama halnya guru hanya akan (maaf) mencetak muridnya menjadi kuli pabrik! Menjadi pekerja dengan mental pekerja. Lebih jauh, kalau kita mencermati buku-buku pelajaran yang ada, akan terlihat bahwa aspek kognitif yang dimunculkan tetap berputar-putar pada; Mengetahui, Memahami, Menerapkan!
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, aspek koginitif dalam pembelajaran terdiri dari kompetensi
Pengetahuan; yaitu kompetensi untuk mengingat atau mengenal kembali bahan-bahan yang telah dipelajari,misalnya istilah-istilah,fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip dasar, cara-cara dan prosedur-prosedur,
Pemahaman; kompetensi untuk memberi makna, menginterpretasikan dan menjelaskan kembali apa-apa yang telah dipelajari dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh dirinya sendiri dan orang lain serta kompetensi mengeksplorasi fakta, konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajarinya,
Penerapan; kompetensi untuk menerapkan konsep, hukum-hukum dan teori-teori dalam situasi yang nyata dan atau membuat sesuatu dengan mengacu pada konsep,hukum dan teori yang telah dipelajari,
Analisis; kompetensi untuk menjabarkan atau menguraikan unsur-unsur-unsur yang menyebabkan timbulnya masalah,
Sintesis; kompetensi memadukan beberapa teori, konsep dan hukum menjadi sesuatu yang baru,
Evaluasi; kompetensi untuk menilai suatu pernyataan, pendapat, pekerjaan atau laporan penelitian berdasarkan pada data, konsep dan teori yang ada.
Aspek Afektif, terdiri dari kompetensi
Menerima; semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain,
Menanggapi; reaksi yang diberikan seseorang terhadap rangsangan yang datang dari luar,
Menilai; kompetensi merekam dan menyeleksi nilai-nilai yang terkandung pada rangsangan yang datang dari luar termasuk di dalamnya kesediaan dan kompetensi menerima nilai-nilai yang baru,
Mengorganisasi; mengembangkan dan mengaitkan suatu nilai (dan konsep yang terkandung didalamnya) dengan nilai yang lain dan memasukkannya ke dalam sistem organisasi,
Mewatak; keterpaduan tata nilai yang ada sehingga mempengaruhi kepribadian dan tingkah laku seseorang.
Aspek Psikomotorik, terdiri dari kompetensi:
Meniru; kompetensi untuk meniru, misalnya mengerjakan kembali apa yang telah dikerjakan oleh guru,
Menyusun; kompetensi untuk menyusun, memasang atau menata ulang kembali komponen/perangkat yang tadinya terpisah menjadi satu kesatuan, misal: memasang kembali suku cadang mesin sepeda motor pada tempatnya semula sehingga menghasilkan mesin motor yang utuh,
Melakukan dengan Bimbingan; kompetensi melakukan suatu pekerjaan dengan bimbingan,
Melakukan dengan baik; kompetensi melakukan pekerjaan dengan hasil yang berkualitas baik,
Melakukan dengan sangat baik; kompetensi untuk melakukan pekerjaan dengan sangat baik.
Idealnya ketiga ranah (domain) pembelajaran (Kognitif, Afektif, dan Psikomotor) ini di dalam penulisan silabus atau modul bahan ajar muncul seimbang. Kenyataannya, ketidak mampuan guru memaknai kosa kata yang terkait dengan ketiga ranah ini (sekaligus menerapkannya dalam proses pembelajaran) membuat silabus dan modul bahan ajar yang dihasilkan kurang mengenai sasaran, dengan demikian dapat ditebak, yang dihasilkan sebagian besar guru, (sekali lagi maaf) adalah generasi pekerja, bukan generasi yang mampu menciptakan pekerjaan, karena mampu berpikir teratur dan jernih, mampu berpikir dengan pola pikir konseptual, manajerial dengan sendirinya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melihat masalah, memilah masalah, dan memecahkan masalah.
Pada sisi lain, Undang-undang no.20/2003 tentang pendidikan menyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 menyatakan : Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
Pada butir a, b, dan d pada kelompok mata pelajaran dari kurikulum yang ditetapkan pemerintah ini kita dapat melihat betapa besar peluang guru penulis yang menulis karya-karya fiksi, dalam bentuk novel, puisi, essay, atau cerpen, membantu pemerintah mewujudkan SDM yang berkualitas, karena para guru penulis ini dapat memasukkan nilai-nilai agama, akhlak mulia, kebangsaan, kepribadian, dan estetika ke dalam karya-karyanya.
Berangkat dari aspek rasional di atas, sungguh sangat tepat gagasan yang dilontarkan oleh Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK)-Depdiknas, Bapak Doktor Fasli Jalal pada tanggal 28 Nopember 2006 tentang pentingnya para guru penulis yang menjadi juara lomba penulisan bahan bacaan-Pusbuk-Depdiknas 2006 membentuk Asosiasi Guru Penulis di tingkat pusat dan propinsi. Gagasan Dirjen tentu bukan tanpa alasan. Menulis sama dengan berpikir, tugas Asosiasi Guru Penulis adalah mengajak para rekan guru agar mau menulis dan membaca, sehingga memiliki kualitas berpikir dan kemampuan berpikir yang ”mumpuni” yang bermuara pada kemampuan mencetak tamatan yang mampu berpikir dengan pola pikir konseptual, manajerial. Tidak hanya sekedar berpikir sebatas kemampuan berpikir seorang tukang !
II. Visi, Misi
Visi
Melalui kegiatan menulis dan membaca membimbing dan mendidik anak didik, menjadi manusia yang cerdas, aktif, kreatif, beriman dan bertaqwa, dan memiliki pola pikir yang cerah dan teratur.
Misi
Merujuk pada aspek rasional (butir I), misi Agupena dapat dibagi menjadi dalam dua aspek, yaitu:
Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Olah raga, dan Kesehatan yang diisi dengan butir-butir kegiatan, antara lain
Pelatihan Penulisan Silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
Pelatihan Penulisan Rencana Program Pembelajaran (RPP),
Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah (buku pelajaran, makalah) yang terkait dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Olah raga dan kesehatan,
Pelatihan Penulisan Modul Bahan Ajar,
Penerbitan jurnal ilmiah,
Pelatihan menulis bagi siswa,
Lomba menulis dan membaca bagi guru dan siswa,
Dan lain-lain yang terkait dengan kegiatan menulis dan relevan dengan tujuan pendidikan nasional dan pengembangan profesi guru.
Agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, dan estetika
1. Pelatihan Penulisan karya ilmiah yang terkait dengan Agama dan Akhlak Mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, dan estetika,
2. Pelatihan Penulisan karya sastra (fiksi/non fiksi) dalam bentuk novel, puisi, cerpen, dan essay,
3. Pelatihan menulis karya sastra bagi guru dan siswa,
4. Penggalakan dan pemberdayaan majalah dinding sekolah dalam rangka membangun logika siswa lewat membaca dan menulis,
5. Dan lain-lain yang terkait dengan kegiatan menulis dan relevan dengan tujuan pendidikan nasional dan pengembangan profesi guru.
III. Penutup
Setiap perbuatan berawal dari niat atau motivasi. Innamal a’malu bin niat, demikian sabda sang Rasul akhir zaman.
Jika sesorang benar-benar berniat ingin pintar menulis, niat itu akan diwujudkannya dengan perbuatan dalam bentuk menulis dan menulis. Salah? Coba lagi! demikian seterusnya. Jika ini terjadi insya Allah tidak akan didapati situasi seperti saat ini di mana ratusan ribu guru dengan golongan IVA lebih dari empat tahun tetap berada dalam golongan IVA karena tidak mampu memenuhi persyaratan menulis karya ilmiah. Wallahuaalam.
Ref :
http://www.yayan.com
http://www.virtualventures.ca
http://suryaningsih.wordpress.com
Sumber-sumber lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar