Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc
Staff Dinas P dan K Purworejo
Pada tanggal 19 Februari 2009 di Kabupaten Purworejo telah dideklarasikan penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi seiring dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Purworejo Nomor 188.4/823, kemudian tanggal 30 April 2009 telah dikeluarkan pedoman penggunaan Bahasa Jawa pada setiap hari Sabtu. Bahasa komunikasi yang dimaksud disini bukan seperti yang kita bayangkan, tetapi lebih bersifat formal untuk acara resmi dalam birokrasi dan kelembagaan sesuai tata krama. Misalnya pada kegiatan rapat-rapat yang sifatnya internal, amanat Pembina apel, pada lembaga Pendidikan untuk kegiatan belajar mengajar diawali dengan pengantar bahasa Jawa serta pada saat mengakirinya.
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 271a Tahun 1994, mata pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa merupakan muatan lokal wajib untuk Provinsi Jawa Tengah. Muatan lokal bersifat sektoral, yaitu dipakai untuk daerah tertentu. Muatan lokal Bahasa Jawa diajarkan di wilayah Jawa Tengah dengan harapan nilai-nilai budaya Jawa tetap dapat dilestarikan dan ditanamkan kepada generasi penerus.
Usulan penggunaan sehari berbahasa Jawa di Kabupaten Purworejo pertama kali hanya untuk jajaran di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi usulan itu disambut baik oleh Bupati Purworejo dan diberlakukan di seluruh satuan kerja di Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo.
Masyarakat Purworejo sejak zaman dahulu menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, namun seiring dengan perkembangan yang semakin pluralis, masyarakat perkotaan terutama generasi muda lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia. Dari alasan tersebut, tidak menutup kemungkinan lambat laun dalam waktu 10 atau 20 tahun lagi masyarakat Purworejo akan meninggalkan Bahasa Jawa, jika generasi saat ini tidak dibekali pengetahuan Bahasa Jawa dengan baik. Hal ini tentu akan berdampak juga pada penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan masyarakat secara keseluruhan.
Bahasa Jawa di Purworejo sekarang hanya sekedar bahasa komunikasi praktis, jauh dari makna yang terkandung tentang konsep “mpan papan” dan makna unggah-ungguh yang melekat didalamnya. Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu pemicu terjadinya pendangkalan Bahasa Jawa di masyarakat Purworejo. Padahal jika kita gali, dalam Bahasa Jawa tercermin adanya norma-norma susila, tata krama, menghargai siapa yang lebih muda dan menghormati siapa yang lebih tua.
Kita sering lupa bahwa terdapat tingkat tutur penggunaan Bahasa Jawa yang dikenal sebagai penerapan unggah-ungguh dan tata krama. Inilah yang harus kita gali dan kembangkan kembali berbahasa Jawa yang benar sesuai pakemnya. Sebagai contoh, salah satu materi mata pelajaran Bahasa Jawa adalah basa ‘bahasa’. Untuk materi ini, cakupannya luas karena orang Jawa mengenal adanya unggah-ungguh basa. Sehingga, di dalam bahasa Jawa terdapat basa ngoko lugu, basa ngoko andhap, basa madya, basa krama, dan basa kedhaton.
Menurut penulis ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pendangkalan Bahasa Jawa di masyarakat Purworejo. Faktor-faktor tersebut antara lain: Pertama, faktor keluarga. Penggunaan Bahasa Jawa yang benar sesuai pakemnya sejak awal memang tidak dikenalkan di lingkungan keluarga, banyak keluarga di Purworejo hanya menggunakan basa ngoko atau Bahasa Indonesia. Hal ini tidak lepas dari pengetahuan berbahasa Jawa para orang tua di Purworejo sangat minim. Oleh karena itu para orang tua perlu membuka kembali pelajaran Bahasa Jawa, kemudian diterapkan dalam keluarga. Kesadaran para orang tua menjadi penting jika penggunaan Bahasa Jawa yang baik dan benar bisa tetap eksis di Purworejo.
Kedua, masyarakat Purworejo terutama kalangan remaja mulai pragmatis dalam berbahasa, ingin serba mudah dan cepat dalam bertutur tanpa harus memikirkan tata krama berbahasa. Kesetaraan dalam Bahasa Indonesia memudahkan mereka dalam pergaulan. Perlu ada kesadaran dari generasi muda Purworejo untuk mencintai Bahasa Jawa yang diimplementasikan dalam pergaulan. Keterlibatan tokoh-tokoh budaya, perguruan tinggi dan ahli Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo untuk ikut mensosialisasikan Bahasa Jawa di kalangan remaja perlu ditingkatkan, melalui sarasehan, seminar dll dengan tema Bahasa Jawa.
Ketiga, pendidikan Bahasa Jawa di sekolah belum optimal. Ketersediaan guru Bahasa Jawa sesuai kompetensinya di Purworejo masih sangat rendah, disamping keteladanan berbahasa Jawa oleh para guru masih sangat kurang. Banyak guru Bahasa Jawa bukan berasal dari sarjana Bahasa/Sastra Jawa, sehingga kualitas materi dan proses pembelajaran masih dipertanyakan. Pemerintah perlu segera membenahi guru-guru yang mengajar tidak sesuai kompetensinya dengan mengangkat guru Bahasa Jawa sesuai kompetensi dan latar belakang pendidikannya. Ada kemauan dari sekolah untuk memberi tauladan berbahasa Jawa yang benar dimulai dari guru di lingkungan sekolah.
Keempat, faktor kebijakan pemerintah. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo dengan kebijakan sehari berbahasa Jawa sudah cukup bagus, tetapi kebijakan ini hanya menyentuh kalangan birokrasi saja. Bagi masyarakat Purworejo secara keseluruhan tidak akan memiliki dampak apa-apa. Perlu ada tindaklanjut berupa kegiatan yang sejalan dengan kebijakan tersebut. Pemerintah daerah Purworejo harus memiliki kegiatan yang menyentuh sampai ke semua lapisan masyarakat. Misalnya dengan mengadakan lomba pidato berbahasa Jawa di masyarakat, lingkungan birokrasi hingga di tingkat sekolah. Disamping itu perlu ada evaluasi apakah penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan birokrasi dapat berjalan dengan baik.
Makna penggunaan Bahasa Jawa yang ingin dicapai dengan pemberlakukan sehari berbahasa Jawa di Kabupaten Purworejo tidak semata-mata hanya sebatas untuk berkomunikasi saja, seperti yang dikatakan oleh Bapak Bambang Aryawan selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, ada nilai budi pekerti yang ingin dibangun.
Budi Pekerti berasal dari bahasa Sansekerta, kata budi berasal dari kata akar budh, kata kerja yang berarti sadar, bangun, atau bangkit secara kejiwaan. Jadi, budi adalah penyadar, pembangun, atau pembangkit atau budi adalah ide-ide. Pekerti berasal dari kata akar kr yang berarti bekerja, berlaku, atau bertindak secara keragaan. Dengan demikian, pekerti adalah tindakan-tindakan. Meskipun budi dan pekerti itu dapat dibedakan, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Wajah kita adalah gambaran hati kita, begitulah apabila diungkapkan. Di dalam budaya Jawa dinyatakan Lair iku utusaning batin. Rohani dan jasmani saling berpadu dan menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Raga kita ini adalah jasmani yang dirohanikan atau rohani yang menjasmani. Sehingga penggunaan Bahasa Jawa bisa menjadi landasan dalam pembentukan budi pekerti yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga deklarasi sehari berbahasa Jawa di Kabupaten Purworejo menjadi tonggak awal menuju masyarakat Purworejo yang lebih berbudi. Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar