Akankah KTSP menjadi Kurikulum Tanpa Skala Prioritas?
Ketika BSNP meluncurkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) disusul dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), predikat guru pun meningkat. Guru tak hanya sebatas pelaksana pembelajaran, tetapi diharapkan juga menjadi perancang model pembelajaran utama. Melalui silabus yang disusun sesuai kondisi masing-masing sekolah, guru diharapkan menjadi inovator sekaligus pelaksana pembelajaran, sehingga siswa didiknya memiliki sejumlah kompetensi yang memenuhi standar pendidikan nasional.
Untuk melakukan gerakan inovasi pembelajaran guru memiliki kebebasan secara kreatif mengujicobakan berbagai pendekatan, strategi, metode, media, atau bahan ajar ke dalam proses pembelajaran yang dikelolanya. Ibarat dokter, gurulah yang tahu persis “penyakit” yang diderita “pasien”-nya. Berdasarkan diagnosis yang dilakukan, guru diharapkan dapat memberikan obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan sang pasien.
Sayangnya predikat baru sebagai perancang model pembelajaran ini disusul dengan wacana pendidikan gratis, sehingga banyaklah ide-ide pembelajaran yang terkandas pada standar pembiayaan. Bahkan di suatu sekolah KTSP kadang harus diterjemahkan sebagai kurikulum tanpa standar pembiayaan.
Meskipun demikian, “naluri” seorang guru sudah pasti akan terus berupaya untuk mencari cara-cara yang tepat agar siswa didiknya tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang cerdas, kreatif, kritis, dan mandiri; terbebas dari cengkeraman berbagai macam ”penyakit” akut.
Munculnya program sertifikasi guru dalam jabatan yang diikuti dengan maslahat tambahan terhadap gaji guru mungkin dapat menjadi “konpensasi” pembelian “obat penyakit akut” manakala sekolah unit kerjanya tidak mempunyai skala prioritas pembiayaan pada “inovasi” model pembelajaran yang dirancang guru. Namun, hal ini tentu tidak dapat berjalan mulus, karena standar pembiayaan sekolah tidak akan tercukupi hanya dengan uluran dana sosial dari para guru.
Di sisi lain (khususnya di SMP), masyarakat (orang tua/wali murid) “merasa” yakin bahwa saat sekarang pendidikan gratis. Maka banyaklah orang tua/wali murid “merasa” tak perlu lagi iuran komite, sumbangan pengembangan institusi, iuran OSIS, bahkan ada yang merasa bahwa buku pun harus gratis. Inilah saatnya untuk sulit membuat skala prioritas anggaran. Apalagi biaya operasional sekolah yang sumber resminya hanya dari dana BOS dan tidak boleh menarik dari orang tua/wali murid, ini pun melalui proses SPJ yang cukup memusingkan ‘stake holder’ sekolah.
Maka terjadilah perebutan kegiatan di dalam sekolah yang kadang berakhir dengan skala prioritas bukan di bidang inovasi pembelajaran. Akankah guru sukses menjadi “inovator” sekaligus pelaksana model pembelajaran yang dirancangnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar