Jumat, 26 Maret 2010

Dialog Ular dan Ubi

Dialog Ular dan Ubi 

 
Dua makhluk terjebak di ladang harapan. Berdebat antara pikiran dan perasaan. Memporakporandakan semak belukar dan perdu-perdu yang tengah merindu laju.



Ular  : (berhenti  di depan Ubi sambil tetap berlenggang lenggok sejak lehar hingga kepala, walu tubuh diam ekor tetap berkeliaran) “Kwak… kwak … kwak … akulah raja penari sepanjang jalan”
Ubi   : (sembunyi di dalam semak ilalang dengan tubuh terkapar) “Berjalan saja harus meliuk kelok, huh … dasar pikiranmu memang bengkok!”
Ular  : “Kwak … kwak … kwak… Bah! Tak tahu diuntung kau ini. Diri semata sepi, berani-beraninya kau colek badanku yang molek?!”
Ubi   : “Xixixixixi…. Molek apaan? Udah jelek mudah mencaci maki karena iri….”
Ular  : “Kwak … kwak … kwak… Cih!  Iri…? Apa yang dapat kuirikan dari persona jelata macam kamu? Hah?!”
Ubi   : “Aku ini disuka manusia, sedang Kau musuhnya yang tak berguna! … Aku bangga mengabdi pada lidah manusia bukan pada lidah jelekmu itu!”
Ular  : ““Kwak … kwak … kwak… Bah! Kurangajar kau berkata. Tak tahukah kau kalau lidahku ini berbisa tinggi. Sekali saja ku muak denganmu kan kusembur kau pasti hancur lebur badan tak terkubur”
Ubi   : “Xixixixixi … Sombong amat kau ular jelek ! Tidakkah kau tahu juga tubuhku ini berkalang garam. Lakukanlah jika kau berani!”
Ular  : (Mendengar celoteh ubi, berhenti menari, berhenti memaki. Dalam pikir mempertimbangkan kejadian ngeri kalau benar kulit ubi berkalang garam. Seumur hidupnya ia takut bersentuh dengan garam. Entah kenapa. Barangkali karena memang kodratnya. Pikiran kerdilnya tak menjangkau lagi untuk berkata-kata. Beberapa saat lamanya ia tidak bergeming menatap ubi dengan tatapan yang jauh bertubi-tubi. Pikiran tercenung merenungi tantangan ubi. Diri terkurung lamunannya sendiri dalam dilema antara rasa takut dan berani.)

Ubi   : (Terkesima kata sendiri. Betapa sesal dengan kebohongan yang terlanjur ia ucapkan. Demi melihat ular berhenti memaki, perasaan bersalah menjalar di sekujur tubuhnya. Seumur hidup baru hari ini dia berbohong. Ia sangat yakin bahwa kulit tubuhnya tiada bergaram, melainkan jika dimasak manusia.  Betapa terkejutnya kala kebohongannya berpengaruh besar pada sesama mkhluk, terutama ular. Nuraninya tak menjangkau lagi untuk berkata. Beberapa lamanya ia tidak bergeming menatap ular dengan tatapan yang jauh bertubi-tubi. Pikiran tercenung merenungi nasib pecundang ular. Diri pun terkurung lamunannya sendiri dalam dilema antara kejujuran dan kebohongan.)
Ular  : “….”
Ubi   : “….”
Kedua makhluk itu taklagi berkata-kata. Pikiran dan perasaannya menjadi beku tiba-tiba. Semakin beku hingga tertutup semak belukar dan perdu-perdu yang terus tumbuh melaju.

Tidak ada komentar: