Kamis, 25 Juni 2009

Pelantikan Pengurus Agupena Cabang Purworejo








____________________________________________________________
Selamat dan Sukses atas dilantiknya Pengurus Asosiasi Guru Penulis Seluruh Indonesia Wilayah Jawa Tengah Cabang Purworejo (AGUPENA CABANG PURWOREJO) Periode : 2009 - 2012। Dilantik pada hari Kamis tgl। 25 Juni 2009 di LPMP Jawa Tengah Srondol - Semarang। Semoga mampu menjalankan visi & misi sesuai Tupoksi. Amin.
Sekretariat Agupena Cabang Purworejo
http://riyadipurworejo.blogspot.com/

Selasa, 16 Juni 2009

ASOSIASI GURU PENULIS SELURUH INDONESIA

Salam Agupena !





Untuk rekan-rekan guru yang suka menulis : kunjungi Situs http://agupena.org/
dan http://agupenajateng.net/
sementara kritik dan saran untuk AGUPENA CABANG PURWOREJO kami tampung pada link komentar pada blog ini http://riyadi.purworejo.asia/
atau kirim e-mail ke : riyadi@live.com
Terima kasih।

Senin, 15 Juni 2009

SMK EQUIVALEN LIFE SKILL EDUCATION


Oleh:
Drs. Bambang Aryawan, MM

Tantangan Masa Depan
Tahun ajaran baru 2009/2010 segera dimulai. Saya haturkan banyak terima kasih setelah prestasi yang cukup membanggakan diraih oleh segenap jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo, karena hasil UN Tahun Pelajaran 2008/2009 tingkat kelulusan SMA diatas 95% dan SMK diatas 80%. Semoga dimasa datang, prestasi ini bisa terus dipertahankan...amin. Ada paradigma yang mulai berubah sejalan dengan kebijakan pendidikan akhir-akhir ini, salah satunya kebijakan menuju propinsi/kabupaten vokasi. Para pemikir pendidikan menyadari benar bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada kehidupan, sesuai dengan salah satu kebijakan Direktorat Mandikdasmen, dimana lulusan sekolah berorientasi kepada dunia kerja. Memperoleh pekerjaan yang memberikan penghasilan adalah keperluan hidup manusia. Oleh karena itu, peserta didik perlu dibekali pendidikan dengan ketrampilan-ketrampilan yang memungkinkan mereka menjalankan pekerjaannya dengan baik.
Salah satu alternatif kebijakan yang diambil pemerintah adalah dengan membangun sekolah berbasis life skill melalui sekolah kejuruan/SMK. Pendidikan kejuruan dimaksudkan untuk memberi peserta didik keterampilan khas untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Apakah penguasaan keterampilan bekerja saja cukup bagi seseorang untuk mengarungi kehidupan?
Sebelum menjawab persoalan tersebut, perlu diperoleh sebuah gambaran tentang kehidupan di abad ke-21. Dalam kaitan ini, hendaknya dipahami bahwa dunia ditentukan juga oleh manusia yang mendiaminya, sehingga selain meramalkan kecenderungan perkembangan, kita juga perlu memiliki persepsi tentang dunia ideal.
Dalam menghadapi beragam tantangan masa depan, masyarakat Indonesia harus melihat bahwa pendidikan merupakan aset mutlak dalam usahanya untuk mencapai cita-cita perdamaian, kemerdekaan, dan keadilan sosial sesuai amanat UUD 1945. Abad ke-21 akan dipenuhi dengan tarik-menarik antara dua kutub dalam berbagai dimensi, tiga di antaranya adalah global lokal, tradisional modern, dan spiritual material.
Jadi jelas bahwa pembangunan Pendidikan di Indonesia sudah saatnya lebih difokuskan pada penciptaan tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja, atau minimal mampu menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Pendidikan yang menjadi tumpuan menciptakan tenaga trampil tersebut adalah sekolah kejuruan yang telah dirintis di berbagai daerah termasuk di Kabupaten Purworejo dengan SMK Kecil-nya.

Life skill Education
Keterbatasan pemerintah daerah dalam pembangunan Pendidikan yang menfokuskan pada Pendidikan dasar dan menengah tidak menutup kemungkinan bahwa sumber daya manusia tumbuh dan berkembang pada jenjang pendidikan menengah melalui sekolah kejuruan. Usaha Pemerintah Daerah Purworejo melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebagai upaya menciptakan sumber daya manusia yang trampil telah membuahkan titik terang, ini dilihat dari pencapaian rasio siswa SMK dan SMA menjadi 57% : 43% telah tercapai pada tahun pelajaran 2008/2009 dengan perbandingan 15.600 siswa SMK dan 10.000 siswa SMA, tinggal bagaimana sekolah beserta jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengelola siswa SMK menjadi tenaga kerja siap pakai yang handal.
Data tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya 30% lulusan SMA di Kabupaten Purworejo yang melanjutkan ke perguruan tinggi, ini berarti ada 70% lulusan SMA yang tidak melanjutkan, padahal kita ketahui bersama bahwa lulusan SMA sangat minim ketrampilan, dan lapangan kerja untuk kelompok sarjana pun semakin ketat.
Dengan alasan tersebut, sangat memungkinkan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berfungsi sebagai basis pengembangan life skill education di daerah dan menjadi tumpuan pembangunan sumber daya manusia yang handal di Purworejo. Saat ini di Kabupeten Purworejo telah berdiri 7 (tujuh) SMK Negeri dan 29 (dua puluh sembilan) SMK swasta dengan berbagai macam program studi. Dengan aset pendidikan yang cukup potensial dimiliki oleh Kabupaten Purworejo ini, menjadi tugas kita bersama antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, satuan Pendidikan dan masyarakat (dunia usaha/industri) untuk ikut serta meningkatkan kualitas lulusan dan memberikan akses pada para lulusan untuk masuk ke dunia kerja. Perluasan akses para lulusan SMK dalam memasuki dunia kerja dapat dilakukan dengan membangun kerjasama antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Tenaga Kerja.
Untuk dapat bersaing di dunia usaha/industri lulusan SMK tidak cukup hanya menguasai teori-teori, tetapi juga mau dan mampu menerapkan ketrampilan yang dimiliki dalam kehidupan sosial, artinya ia tidak hanya mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah, tetapi juga mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu perlu ada penambahan ilmu kewirausahaan (entrepreneurship), pendidikan yang demikian adalah pendidikan yang berorientasi pada pembentukan jiwa entrepreneurship, ialah jiwa keberanian dan kemauan menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar, jiwa kreatif untuk mencari solusi dan mengatasi problema tersebut, jiwa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
Pendidikan yang berwawasan kewirausahaan yang perlu dikembangkan di SMK, adalah pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup (life skill) pada peserta didiknya melalui kurikulum terintegrasi yang dikembangkan di sekolah. Jika model ini dapat terus dikembangkan di SMK, maka dunia pendidikan ikut memberikan kontribusi nyata dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia, termasuk di Kabupaten Purworejo.
Kerangka pengembangan kewirausahaan di kalangan tenaga pendidik juga sangat penting. Karena pendidik adalah ‘agent of change’ yang diharapkan mampu menanamkan ciri-ciri, sifat dan watak serta jiwa kewirausahaan atau jiwa ‘entrepreneur’ bagi peserta didiknya. Disamping itu jiwa ‘entrepreneur’ juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik, karena melalui jiwa ini, para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produktif serta mandiri. Oleh karena pelatihan-pelatihan harus terus dilakukan bagi guru SMK dengan membangun kerjasama dengan dunia usaha/industri yang relevan dan kompeten.
Salah satu bentuk pembelajaran bagi siswa dan guru dalam membentuk jiwa kewirausahaan adalah mengembangkan dan membangun Unit Produksi (UP) di setiap SMK. Unit Produksi berfungsi sebagai wadah dalam mengasah jiwa intreprenuer yang difasilitasi sekolah dengan memanfaatkan aset yang dimiliki untuk kemakmuran bersama. Unit produksi adalah bentuk praktek bagi siswa dan guru yang dikondisikan sebagai dunia usaha yang dibangun dan dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja/usaha mandiri yang berorientasi profit sebagai bekal jika terjun ke masyarakat nantinya.

Kesimpulan
Ketrampilan/kecakapan hidup (life skill) bukanlah merupakan faktor keturunan, namun dapat dipelajari secara ilmiah dan ditumbuhkan bagi siapapun juga. Yang penting dan yang utama adalah semangat untuk belajar dan mampu memilih ketrampilan sesuai bakat dan kemampuan diri. Mungkin seperti itulah gambaran yang menjadi harapan jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo untuk terus dikembangkan oleh sekolah yang mendidik siswa-siswa calon penerus bangsa agar tetap eksis dalam pertarungan hidup yang semakin sempit sebagai upaya untuk turut serta menciptakan sumber daya manusia yang handal di masa datang yang semakin sarat persaingan, baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Mari kita antar anak-anak kita ke gerbang keberhasilan...

Sabtu, 13 Juni 2009

SEMINAR NASIONAL PENULISAN BUKU DAN KARYA ILMIAH


MBS RUHNYA DESENTRALISASI PENDIDIKAN


Oleh:
Drs. Bambang Aryawan, MM

Latar Belakang
Beberapa waktu lalu (akhir tahun 2008) saya diundang oleh Bapenas bersama dengan Sekjen Depdiknas, Dirjen Mandikdasmen dan Dirjen Anggaran Depkeu untuk menjadi pembicara seminar dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) membahas pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Purworejo. Ada pertanyaan mengapa peningkatan mutu pendidikan kita belum merata sejak diberlakukannya desentralisasi pendidikan. Salah satu faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang berhasil adalah strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Saat ini banyak digunakan model-model dan prinsip-prinsip manajemen modern, terutama dalam dunia bisnis, untuk kemudian diadopsi dalam dunia pendidikan. Salah satu model yang diadopsi adalah ”School Based Management” (Manajemen Berbasis Sekolah).
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan bentuk penerapan otonomi daerah bidang pendidikan sebagai alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreativitas sekolah serta memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat. Konsep ini juga diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979).

Arti dan Tujuan MBS
Secara umum, Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai berikut: (Depdiknas, 2007:12). Model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta perundang-undangan yang berlaku.
Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendekatan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Implementasi konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas di samping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain.
Jadi sekolah harus mengontrol semua sumber daya dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan-tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.

Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
Ada empat prinsip dalam manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk implementasi otonomi daerah bidang pendidikan yang menjadi landasan bagi sekolah sehingga memudahkan dalam menerjemahkan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sesuai dengan tujuannya, yaitu otonomi, fleksibilitas, partisipasi dan inisiatif. (Depdiknas, 2007).
Prinsip pertama adalah otonomi diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan mandiri dibedakan dari pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan instruksi dari atas atau dari luar. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Prinsip kedua adalah fleksibilitas yang dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya. Dengan prinsip fleksibilitas ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip fleksibilitas yang dimaksud tetap mengacu pada kebijakan, peraturan dan perundangan yang berlaku. Program dan penyusunan RAPBS akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan ketika alokasi anggaran yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi penekanan dan pemilihan prioritas dapat berbeda. Prinsip ini membuka kesempatan bagi kreativitas sekolah untuk melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Prinsip ketiga adalah partisipasi, adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangku-tan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah. Makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan: (a) keterbukaan (transparansi); (b) kerja sama yang kuat; (c) akuntabilitas; dan (d) demokrasi pendidikan.
Prinsip keempat adalah inisiatif, didasarkan atas konsepsi bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan pengembangan sumber daya manusia (human resources development) yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Prinsip tersebut menunjukkan pentingnya faktor manusia pada efektivitas orgnanisasi. Perspektif sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga butir utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini, maka MBS bertujuan membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya.

Kesimpulan
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana telah diuraikan di atas, esensinya adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan ”idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan ”nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformis untuk semua sekolah).
Oleh karena itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan.

Daftar Pustaka
________, 2000. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional. Jakarta.
________, 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
________, 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
________, 2007. DPKS: Wadah Peran Serta Masyarakat Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Bastian, Indra, 2007. Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Cotton, K. 1992. School-based Management. Artikel. Diambil tanggal 23 September 2008 dari
http://www.nwrel.org/scpd/sirs/7/topsyn6.html.
Oswald, J.L. 1995. School-Based Management. Artikel. Diambil tanggal 23 September 2008 di
http://eric.uoregon.edu/publications/digents/digent099.html

Kamis, 11 Juni 2009

JANGAN REMEHKAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)


Oleh:
Margono, S.Pd. M.Acc
Staf Dinas P dan K Kab. Purworejo

PAUD adalah pendidikan anak usia dini untuk usia anak 0-6 tahun bagian dari pendidikan pra-sekolah dan termasuk pendidikan non formal. Tetapi dalam PAUD sendiri dibagi menjadi PAUD formal yaitu Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Atfal (RA); dan PAUD non-formal yang terdiri dari Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), TPQ, Fullday School, dll.
Judul artikel ini merupakan sebuah kritikan kepada masyarakat Purworejo akan kesadaran orang tua terhadap PAUD yang masih rendah. Data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purworejo menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD pada tahun 2008 hanya 34,82% dibawah APK Nasional yang sudah mencapai 50,47%, dan rasanya sangat sulit mencapai target APK PAUD Propinsi Jawa Tengah tahun 2009 yang mencapai 61%, memerlukan usaha yang keras bagi kita semua untuk mencapainya karena kesadaran masyarakat Purworejo tentang PAUD masih rendah.
Data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo pada tahun 2008 juga menunjukkan bahwa dari 11.382 siswa baru SD baru 83,9% atau 9.549 siswa yang berasal dari TK, dan jika ditelaah lebih lanjut angka mengulang pada kelas 1 SD pada tahun 2008 memperlihatkan angka yang mencengangkan, yaitu ada 1.423 atau 12,5% siswa yang mengulang dan hampir seluruhnya tidak menempuh PAUD. Ini jelas menunjukkan korelasi positif antara kemampuan anak kelas 1 SD dengan PAUD, yang berarti jika input anak SD yang berlatar belakang PAUD semakin banyak, maka angka mengulang kelas menjadi semakin rendah.
Penulis pernah mengadakan interview kepada beberapa orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya ke PAUD, beberapa mengatakan tidak ada biaya, namum ada juga yang menganggap PAUD hanya bermain-main saja, dan itu itu tidak penting karena bermain bisa dilakukan di rumah. Jawaban pertama mungkin merupakan masalah klise yang sering kita dengar dan tidak perlu kita bahas disini, tetapi jawaban kedua menggugah penulis untuk mengkaji kembali makna ”bermain” yang diremehkan oleh beberapa orang tua.

Golden Age
Sebelum membahas manfaat bermain, kita lihat PAUD dari sisi yang lain. PAUD di Purworejo sampai hari ini masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat, padahal dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah masa ”golden age” periode perkembangan kognitif, bahasa dan sosial emosional mengalami titik puncaknya. Keterlambatan stimulasi pada usia ini mempunyai efek jangka panjang dalam kehidupan seorang manusia.
Pentingnya PAUD juga dikemukakan oleh Feldman (2002) bahwa masa balita merupakan masa emas yang tidak akan berulang karena merupakan masa paling penting dalam pembentukan dasar-dasar kepribadian, kemampuan berfikir, kecerdasan, keterampilan, dan kemampuan bersosialisasi. Kenyataan ini memperkuat keyakinan bahwa pendidikan dasar bagi anak seyogianya dimulai sedini mungkin.
Penelitian tentang otak menunjukkan sampai usia 4 tahun tingkat kapabilitas kecerdasan anak telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80%, dan sisanya sekitar 20% diperoleh pada saat berusia 8 tahun ke atas. Artinya apabila pendidikan baru dilakukan pada usia 7 tahun atau sekolah dasar, stimulasi lingkungan terhadap fungsi otak yang telah berkembang 80 % tersebut terlambat dalam pengembangannya. Otak yang kurang difungsikan tidak hanya membuat anak kurang cerdas tetapi dapat mengurangi optimalisasi potensi otak yang seharusnya dimiliki oleh anak.

Fungsi Bermain
Kita mungkin tidak pernah membayangkan bahwa bermain dengan teman sebaya mempunyai fungsi yang dapat memperluas interaksi sosial dan mengembangkan ketrampilan sosial bagi anak kita, yaitu memberi pelajaran pada anak-anak bagaimana kita berbagi, hidup bersama, mengambil peran dalam kehidupan, dan belajar hidup dalam masyarakat secara umum. Selain itu, bermain akan meningkatkan perkembangan fisik, koordinasi tubuh, dan mengembangkan serta memperhalus ketrampilan motor kasar dan halus. Bermain juga akan membantu anak-anak memahami tubuhnya, fungsi dan bagaimana menggunakannya dalam belajar. Anak-anak bisa mengetahui bahwa bermain itu menyegarkan, menyenangkan dan memberikan kepuasan.
Bermain dapat membantu perkembangan kepribadian dan emosi karena anak-anak mencoba melakukan berbagai peran, mengungkapkan perasaan, menyatakan diri dalam suasana yang tidak mengancam, juga memperhatikan peran orang lain. Melalui bermain, anak-anak kita bisa belajar mematuhi aturan sekaligus menghargai hak orang lain. Bermain dengan bimbingan guru di lembaga PAUD jelas lebih berkualitas karena disanalah nilai-nilai positif bisa disisipkan yang tidak didapat ketika anak bermain dirumah atau di lingkungan masyarakat.
Selanjutnya Froebel dalam Brewer (2007:41) mengatakan bahwa permainan dalam PAUD merupakan pondasi bagi pembelajaran anak sehingga dapat menjembatani anak antara kehidupan di rumah dan kehidupan anak di sekolah nantinya.

Bermain dan Kemampuan Intelektual
Bermain ternyata dapat membangun kemampuan intelektual anak. Bermain mampu merangsang perkembangan kognitif, karena dengan bermain, sensor-motor (indera-pergerakan) anak-anak dapat mengenal permukaan lembut, kasar, atau kaku. Permainan fisik akan mengajarkan anak akan batas kemampuannya sendiri. Bermain juga akan meningkatkan kemampuan abstraksi (imajinasi dan fantasi) sehingga anak-anak semakin jelas mengenal konsep besar-kecil, atas-bawah, dan penuh-kosong. Melalui bermain, anak dapat menghargai aturan, keteraturan, dan logika.
Bermain juga akan membangun struktur kognitif anak. Anak-anak akan memperoleh informasi yang lebih banyak sehingga pengetahuan dan pemahamannya akan lebih kaya dan lebih dalam. Bila informasi baru tersebut ternyata berbeda dengan yang selama ini diketahuinya, anak dapat mengubah informasi yang lama sehingga ia mendapat pemahaman atau pengetahuan yang baru. Jadi akan memperkaya, memperdalam dan memperbaharui struktur kognitif anak sehingga semakin sempurna.
Bermain ternyata juga akan membangun kemampuan kognitif, kemampuan kognitif mencakup kemampuan mengidentifikasi, mengelompokkan, mengurutkan, mengamati, membedakan, meramalkan, menentukan hubungan sebab-akibat, membandingkan, dan menarik kesimpulan. Bermain akan mengasah kepekaan anak-anak akan keteraturan, urutan dan waktu. Bermain juga meningkatkan kemampuan logis (logika).
Disamping itu bermain juga akan menjadi media bagi anak untuk belajar memecahkan masalah. Pada saat bermain, anak-anak akan menemui berbagai masalah sehingga akan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengetahui bahwa ada beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah. Dengan bermain juga memungkinan anak-anak bertahan lebih lama menghadapi kesulitan sebelum persoalan yang ia hadapi dapat dipecahkan. Proses pemecahan masalah ini mencakup adanya imajinasi aktif anak-anak. Imajinasi aktif akan mencegah timbulnya kebosanan yang merupakan pencetus dari kerewelan yang sering kita jumpai pada anak-anak.
Bermain juga akan mengembangkan konsentrasi, kita bisa melihat apabila tidak ada konsentrasi yang memadai, seorang anak tidak mungkin dapat bertahan lama bermain peran (berpura-pura menjadi dokter, guru, ayah/ibu, dll). Ada hubungan yang dekat antara imajinasi dan kemampuan konsentrasi. Imajinasi membantu meningkatkan kemampuan konsentrasi. Anak-anak yang tidak imajinatif memiliki rentang perhatian (konsentrasi) yang pendek dan memiliki kemungkinan besar untuk berperilaku agresif dan mengacau.

Bermain merupakan Laboratorium Bahasa
Jika kita perhatikan, bermain juga dapat menjadi wahana melatih kemampuan berbahasa anak. Dapat dikatakan bahwa kegiatan bermain merupakan ”laboratorium bahasa” bagi anak-anak. Di dalam bermain, anak-anak bercakap-cakap satu dengan yang lain, berargumentasi, menjelaskan, dan meyakinkan. Keterbatasan pendidikan bahasa di dalam keluarga dapat ditambal dengan interaksi bersama teman sebayanya di sekolah PAUD. Jumlah kosakata yang dikuasai anak-anak dapat meningkat karena mereka dapat menemukan kata-kata baru dari teman bermain dan guru tentunya.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa PAUD ternyata mempunyai manfaat yang begitu besar, namun seolah terkuburkan karena kurangnya pemahaman dan penjelasan ke orang tua. Harapannya, dengan tulisan ini dapat memberikan pemahaman tentang PAUD, dan memberikan motivasi bagi penyelenggara PAUD tentang peran mereka bagi pembanguan pendidikan yang tidak boleh dianggap remeh, karena dari sinilah pondasi peningkatkan mutu pendidikan itu dibangun.

TELAAH SEHARI BERBAHASA JAWA DI KABUPATEN PURWOREJO


Oleh:
Margono, S.Pd., M.Acc
Staff Dinas P dan K Purworejo


Pada tanggal 19 Februari 2009 di Kabupaten Purworejo telah dideklarasikan penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi seiring dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bupati Purworejo Nomor 188.4/823, kemudian tanggal 30 April 2009 telah dikeluarkan pedoman penggunaan Bahasa Jawa pada setiap hari Sabtu. Bahasa komunikasi yang dimaksud disini bukan seperti yang kita bayangkan, tetapi lebih bersifat formal untuk acara resmi dalam birokrasi dan kelembagaan sesuai tata krama. Misalnya pada kegiatan rapat-rapat yang sifatnya internal, amanat Pembina apel, pada lembaga Pendidikan untuk kegiatan belajar mengajar diawali dengan pengantar bahasa Jawa serta pada saat mengakirinya.
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 271a Tahun 1994, mata pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa merupakan muatan lokal wajib untuk Provinsi Jawa Tengah. Muatan lokal bersifat sektoral, yaitu dipakai untuk daerah tertentu. Muatan lokal Bahasa Jawa diajarkan di wilayah Jawa Tengah dengan harapan nilai-nilai budaya Jawa tetap dapat dilestarikan dan ditanamkan kepada generasi penerus.
Usulan penggunaan sehari berbahasa Jawa di Kabupaten Purworejo pertama kali hanya untuk jajaran di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi usulan itu disambut baik oleh Bupati Purworejo dan diberlakukan di seluruh satuan kerja di Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo.
Masyarakat Purworejo sejak zaman dahulu menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, namun seiring dengan perkembangan yang semakin pluralis, masyarakat perkotaan terutama generasi muda lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia. Dari alasan tersebut, tidak menutup kemungkinan lambat laun dalam waktu 10 atau 20 tahun lagi masyarakat Purworejo akan meninggalkan Bahasa Jawa, jika generasi saat ini tidak dibekali pengetahuan Bahasa Jawa dengan baik. Hal ini tentu akan berdampak juga pada penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan masyarakat secara keseluruhan.
Bahasa Jawa di Purworejo sekarang hanya sekedar bahasa komunikasi praktis, jauh dari makna yang terkandung tentang konsep “mpan papan” dan makna unggah-ungguh yang melekat didalamnya. Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu pemicu terjadinya pendangkalan Bahasa Jawa di masyarakat Purworejo. Padahal jika kita gali, dalam Bahasa Jawa tercermin adanya norma-norma susila, tata krama, menghargai siapa yang lebih muda dan menghormati siapa yang lebih tua.
Kita sering lupa bahwa terdapat tingkat tutur penggunaan Bahasa Jawa yang dikenal sebagai penerapan unggah-ungguh dan tata krama. Inilah yang harus kita gali dan kembangkan kembali berbahasa Jawa yang benar sesuai pakemnya. Sebagai contoh, salah satu materi mata pelajaran Bahasa Jawa adalah basa ‘bahasa’. Untuk materi ini, cakupannya luas karena orang Jawa mengenal adanya unggah-ungguh basa. Sehingga, di dalam bahasa Jawa terdapat basa ngoko lugu, basa ngoko andhap, basa madya, basa krama, dan basa kedhaton.
Menurut penulis ada beberapa faktor yang menjadi penyebab pendangkalan Bahasa Jawa di masyarakat Purworejo. Faktor-faktor tersebut antara lain: Pertama, faktor keluarga. Penggunaan Bahasa Jawa yang benar sesuai pakemnya sejak awal memang tidak dikenalkan di lingkungan keluarga, banyak keluarga di Purworejo hanya menggunakan basa ngoko atau Bahasa Indonesia. Hal ini tidak lepas dari pengetahuan berbahasa Jawa para orang tua di Purworejo sangat minim. Oleh karena itu para orang tua perlu membuka kembali pelajaran Bahasa Jawa, kemudian diterapkan dalam keluarga. Kesadaran para orang tua menjadi penting jika penggunaan Bahasa Jawa yang baik dan benar bisa tetap eksis di Purworejo.
Kedua, masyarakat Purworejo terutama kalangan remaja mulai pragmatis dalam berbahasa, ingin serba mudah dan cepat dalam bertutur tanpa harus memikirkan tata krama berbahasa. Kesetaraan dalam Bahasa Indonesia memudahkan mereka dalam pergaulan. Perlu ada kesadaran dari generasi muda Purworejo untuk mencintai Bahasa Jawa yang diimplementasikan dalam pergaulan. Keterlibatan tokoh-tokoh budaya, perguruan tinggi dan ahli Bahasa Jawa di Kabupaten Purworejo untuk ikut mensosialisasikan Bahasa Jawa di kalangan remaja perlu ditingkatkan, melalui sarasehan, seminar dll dengan tema Bahasa Jawa.
Ketiga, pendidikan Bahasa Jawa di sekolah belum optimal. Ketersediaan guru Bahasa Jawa sesuai kompetensinya di Purworejo masih sangat rendah, disamping keteladanan berbahasa Jawa oleh para guru masih sangat kurang. Banyak guru Bahasa Jawa bukan berasal dari sarjana Bahasa/Sastra Jawa, sehingga kualitas materi dan proses pembelajaran masih dipertanyakan. Pemerintah perlu segera membenahi guru-guru yang mengajar tidak sesuai kompetensinya dengan mengangkat guru Bahasa Jawa sesuai kompetensi dan latar belakang pendidikannya. Ada kemauan dari sekolah untuk memberi tauladan berbahasa Jawa yang benar dimulai dari guru di lingkungan sekolah.
Keempat, faktor kebijakan pemerintah. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo dengan kebijakan sehari berbahasa Jawa sudah cukup bagus, tetapi kebijakan ini hanya menyentuh kalangan birokrasi saja. Bagi masyarakat Purworejo secara keseluruhan tidak akan memiliki dampak apa-apa. Perlu ada tindaklanjut berupa kegiatan yang sejalan dengan kebijakan tersebut. Pemerintah daerah Purworejo harus memiliki kegiatan yang menyentuh sampai ke semua lapisan masyarakat. Misalnya dengan mengadakan lomba pidato berbahasa Jawa di masyarakat, lingkungan birokrasi hingga di tingkat sekolah. Disamping itu perlu ada evaluasi apakah penggunaan Bahasa Jawa di lingkungan birokrasi dapat berjalan dengan baik.
Makna penggunaan Bahasa Jawa yang ingin dicapai dengan pemberlakukan sehari berbahasa Jawa di Kabupaten Purworejo tidak semata-mata hanya sebatas untuk berkomunikasi saja, seperti yang dikatakan oleh Bapak Bambang Aryawan selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, ada nilai budi pekerti yang ingin dibangun.
Budi Pekerti berasal dari bahasa Sansekerta, kata budi berasal dari kata akar budh, kata kerja yang berarti sadar, bangun, atau bangkit secara kejiwaan. Jadi, budi adalah penyadar, pembangun, atau pembangkit atau budi adalah ide-ide. Pekerti berasal dari kata akar kr yang berarti bekerja, berlaku, atau bertindak secara keragaan. Dengan demikian, pekerti adalah tindakan-tindakan. Meskipun budi dan pekerti itu dapat dibedakan, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Wajah kita adalah gambaran hati kita, begitulah apabila diungkapkan. Di dalam budaya Jawa dinyatakan Lair iku utusaning batin. Rohani dan jasmani saling berpadu dan menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Raga kita ini adalah jasmani yang dirohanikan atau rohani yang menjasmani. Sehingga penggunaan Bahasa Jawa bisa menjadi landasan dalam pembentukan budi pekerti yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga deklarasi sehari berbahasa Jawa di Kabupaten Purworejo menjadi tonggak awal menuju masyarakat Purworejo yang lebih berbudi. Amin…