Selasa, 06 April 2010

Memperbaiki Karakter Bangsa Lewat Karya Sastra

Berbicara tentang karakter bangsa atau untuk menegakkan kembali jatidiri bangsa ini dapat kita lakukan melalui pembelajaran sastra di sekolah dasar, sekolah menengah, bahkan di perguruan tinggi. Jati diri seperti apakah yang kita inginkan sebagai bangsa di kemudian hari, harus meresap ke dalam hati dan jiwa setiap insan di negeri ini. Pembentukan kepribadian yang lekat tidak bisa dilakukan dalam satu tindakan atau perintah, tetapi membutuhkan proses panjang, bahkan mungkin antargenerasi. Dan karya sastra merupakan salah satu titian yang dapat menjembatani proses itu.

Hingga hari ini, sastra klasik Angkatan Balai Pustaka, karya sastrawan Indonesia jadi bacaan wajib siswa SMA di Malaysia. Dengan ini mereka memelihara “karakter positip Melayu” nya. Ketika Malaysia berulah, bangsa ini pun hanya bisa mencak-…mencak, dan “teriak sana teriak sini”. Wahai para pemimpin..jangan keasikan memburu uang dan kekuasaan…tolong perbaiki karakter bangsa ini….Salam… (Achjar Chalil)

Di tempat kita, dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan memang telah dilekatkan dalam ruang lingkup sebagaimana kewajiban siswa untuk membaca, sehingga pada akhir pendidikan di SMP/MTs misalnya, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra. Namun pelaksanaannya belum bisa dipastikan, sebab banyaklah hambatan baik dari segi motivasi maupun sarana prasarana.

Otomotive? belajar dari asing=perlu!, Elektronik? belajar dari asing=perlu!, Teknologi Informasi? belajar dari asing=perlu. Pokoknya untuk sains dan teknologi silahkan arahkan “kiblat” anda ke luar Indonesia…. Untuk pembangunan karakter b…angsa….? Nah ini dia. Sebagai bangsa yang pernah dijajah barat (belanda) bangsa ini (termasuk para pemimpinnya) tetap juga melihat ke barat.. (Achjar Chalil)

Wawasan identitas ke barat-baratan ini telah mendarah daging di setiap kita. Apakah ini sudah menjadi karakter yang mutlak dan sulit diubah?

Para pakar pendidikan kita pergi ke barat, pulang bawa gelar DR, PHd, pendidikan di kita pun dirancang ikuti pola Jerman, Inggris, Amerika, atau Australia. Konsep pendidikan yang dirancang oleh Ki Hajar Dewantara dan Engku M. Syafe’i (100% pribu…mi) diletakkan “di bawah meja” (untuk konsep Ki Hajar cukup sekedar kata Tut Wuri Handayani pada logo Depdiknas…
(Achjar Chalil)

Membaca pernyataan-pernyataan Pak Achyar Chalil itu rasanya memang kita ini belum pas menempatkan diri, atau menempatkan beberapa hal yang ada di sekitar kita. Dan itu mempengaruhi karakter dan jatidiri bangsa ini. Bahkan tulisan ini kadang menjadi catatan semacam iklan sambil lalu. Biar saja. Saya juga cuma melepas uneg-uneg setelah membaca pernyataan-pernyataan itu.

Tidak ada komentar: