Sabtu, 13 Juni 2009

MBS RUHNYA DESENTRALISASI PENDIDIKAN


Oleh:
Drs. Bambang Aryawan, MM

Latar Belakang
Beberapa waktu lalu (akhir tahun 2008) saya diundang oleh Bapenas bersama dengan Sekjen Depdiknas, Dirjen Mandikdasmen dan Dirjen Anggaran Depkeu untuk menjadi pembicara seminar dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) membahas pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Purworejo. Ada pertanyaan mengapa peningkatan mutu pendidikan kita belum merata sejak diberlakukannya desentralisasi pendidikan. Salah satu faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang berhasil adalah strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Saat ini banyak digunakan model-model dan prinsip-prinsip manajemen modern, terutama dalam dunia bisnis, untuk kemudian diadopsi dalam dunia pendidikan. Salah satu model yang diadopsi adalah ”School Based Management” (Manajemen Berbasis Sekolah).
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan bentuk penerapan otonomi daerah bidang pendidikan sebagai alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreativitas sekolah serta memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat. Konsep ini juga diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979).

Arti dan Tujuan MBS
Secara umum, Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai berikut: (Depdiknas, 2007:12). Model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta perundang-undangan yang berlaku.
Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendekatan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Implementasi konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas di samping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain.
Jadi sekolah harus mengontrol semua sumber daya dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan-tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.

Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
Ada empat prinsip dalam manajemen berbasis sekolah sebagai bentuk implementasi otonomi daerah bidang pendidikan yang menjadi landasan bagi sekolah sehingga memudahkan dalam menerjemahkan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sesuai dengan tujuannya, yaitu otonomi, fleksibilitas, partisipasi dan inisiatif. (Depdiknas, 2007).
Prinsip pertama adalah otonomi diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri (pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan mandiri dibedakan dari pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan instruksi dari atas atau dari luar. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Prinsip kedua adalah fleksibilitas yang dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya. Dengan prinsip fleksibilitas ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip fleksibilitas yang dimaksud tetap mengacu pada kebijakan, peraturan dan perundangan yang berlaku. Program dan penyusunan RAPBS akan berbeda antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan ketika alokasi anggaran yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi penekanan dan pemilihan prioritas dapat berbeda. Prinsip ini membuka kesempatan bagi kreativitas sekolah untuk melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Prinsip ketiga adalah partisipasi, adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangku-tan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah. Makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan: (a) keterbukaan (transparansi); (b) kerja sama yang kuat; (c) akuntabilitas; dan (d) demokrasi pendidikan.
Prinsip keempat adalah inisiatif, didasarkan atas konsepsi bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan pengembangan sumber daya manusia (human resources development) yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Prinsip tersebut menunjukkan pentingnya faktor manusia pada efektivitas orgnanisasi. Perspektif sumber daya manusia menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga butir utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini, maka MBS bertujuan membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya.

Kesimpulan
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagaimana telah diuraikan di atas, esensinya adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan ”idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan ”nomotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformis untuk semua sekolah).
Oleh karena itu, dalam arti sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan.

Daftar Pustaka
________, 2000. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional. Jakarta.
________, 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
________, 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
________, 2007. DPKS: Wadah Peran Serta Masyarakat Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Bastian, Indra, 2007. Akuntansi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Cotton, K. 1992. School-based Management. Artikel. Diambil tanggal 23 September 2008 dari
http://www.nwrel.org/scpd/sirs/7/topsyn6.html.
Oswald, J.L. 1995. School-Based Management. Artikel. Diambil tanggal 23 September 2008 di
http://eric.uoregon.edu/publications/digents/digent099.html

2 komentar:

Riyadi mengatakan...

Terima kasih atas posting artikel ini. Kepada rekan-rekan guru khususnya di Kabupaten Purworejo jangan lewatkan membaca yang satu ini. Terima kasih.

udjaaksyara mengatakan...

bagus banget artikelnya sgt membantu guru seperti saya, trimakasih yah....