Sabtu, 16 Mei 2009

posting dari e-mail Sawali64@gmail.com

kategori Arsip : Kiriman dari MGMP Bahasa Indonesia SMP Kab. Kendal
untuk Agupena Cabang Purworejo
MGMP BAHASA INDONESIA SMP
DI BAWAH JEMARI HUJAN
Posted: 15 May 2009 10:22 AM PDT
Oleh Kak Sardono Syarief
Hujan masih saja turun dengan deras. Di mana-mana tampak basah. Semua orang gelisah menanti hujan reda. Sejauh itu, beberapa anak lelaki belasan tahun saling lari menyerbu calon penumpang bus yang basah diguyur hujan.
“Ngojek payung, Pak?”tawar Nano kepada seorang Bapak berkumis tipis yang sedang berteduh di sudut terminal.Bapak yang ditawari mengangguk.
“Berapa, Dik?”tanyanya ramah.
“Murah, Pak. Cuma seribu rupiah,”jawab Nano sopan.
“Oh, ya? Sini, Dik!”
“Ke mana, Pak?”Nano mendekat. Tubuh anak itu tampak menggigil kedinginan.
“Ke jalur bus jurusan Bandung,”Bapak yang berkemeja putih tadi menjawab sembari tersenyum.
“Oh,ya! Mari, Pak!” Nano mengulurkan setangkai payungnya kepada Bapak tadi.
“Terima kasih, Dik,”sahut Bapak setengah baya tadi sambil menerima payung dari tangan Nano.
Selang sesaat, dengan berpayung milik Nano, Bapak yang bertubuh agak gendut tadi melangkah menuju bus jurusan Bandung. Sementara itu Nano jalan mengiringi Bapak tadi dengan berhujan-hujanan.
Siapa sih Nano itu?
Nano adalah salah seorang anak lelaki di antara sekian anak pengojek payung di terminal bus induk Cirebon. Ia bertubuh sedang, berkulit sawo matang, dan berambut lurus. Nano merupakan anak tunggal Mak Darniyah yang kini sudah lama hidup menjanda. Adapun Pak Surip, ayah Nano, sudah meninggal sejak anak itu baru berumur dua tahun.
“Ini payungnya, Dik!” begitu tiba di salah satu bus jurusan Bandung, Bapak yang diantar tadi mengulurkan payungnya kepada Nano. “Ini uang sewanya!” selembar uang lima ribuan berpindah ke tangan Nano.
“Terima kasih, Pak,”Nano menerima uang tersebut dengan senang hati. “Ini kembaliannya,Pak!”anak itu mengulurkan kelebihan uang kepada Bapak yang berpenampilan rapi tadi.
“Tak usah! Untuk kamu saja!”kata Bapak tadi dengan tulus.
“Pak……..!”seru Nano tak habis mengerti. Mulut anak itu sedikit menganga.
“Sudah ambil saja untuk kamu! Bapak ikhlas kok,”kata Bapak tadi seraya tersenyum.
“Tapi, Pak….?”
“Sudah ambil saja!”potong Bapak tadi mantap.
“Kalau begitu, terima kasih sekali, Pak.”ucap Nano dengan hati berbunga-bunga.
Bapak tadi mengangguk. seraya meninggalkan Nano. Lalu masuk ke dalam bus.Usai itu, Nano pun melangkah menuju tempat temannya berkumpul, di teras depan terminal. Namun sebelum anak itu tiba pada tempat tujuan, tiba-tiba terdengar ada suara yang memanggilnya.
“Hai, Pengojek payung!”
Nano berpaling ke arah sumber suara. Pandangan anak itu menangkap seorang Ibu muda dari sudut terminal melambai-lambaikan tangan kepadanya.
“Sini!”seru Ibu muda tadi kepada Nano. Melihat itu, Nano segera mendekat.
“Saya,Bu?”
“Iya,”balas Ibu tadi ramah. “Tolong Ibu antarkan, ya!”pinta Ibu tadi penuh harap.
“Ke mana, Bu?”
“Ke bus jurusan Pekalongan, ”sahut Ibu muda tadi sambil tersenyum.
“Mari, Bu!”
“Berapa sewa payungnya, Dik?”tanya Ibu tadi sebelum melangkah.
“Murah, Bu. Cuma seribu rupiah saja, kok,”jawab anak kelas 5 SD tadi seraya tersenyum.
“Wah, kok mahal amat, Dik! Apa tak bisa kurang ?”
Nano menggeleng,“Ini tarif umum, Bu. Semua teman juga sekian.”
“Untuk Ibu apa tidak bisa ditawar?”
“Mau Ibu berapa?”
“Kurangi lima ratus, ya?”
Nano diam sejenak untuk mengolah pikir. Tak lebih setengah menit dari itu, dia pun berkata,”Ya sudah, Bu. Ini payungnya!”
“Bagaimana? Bisa?”tanya Ibu muda tadi seraya memperhatikan sikap Nano. Anak yang ditanya mengangguk Setuju.
“Terima kasih! Mana payungnya?”pinta Ibu muda tadi.
“Ini, Bu!”Nano segera mengulurkan setangkai payungnya kepada Ibu muda tadi.
Tak lama dari itu, melangkahlah Ibu muda tadi dengan diiringi Nano. Seperti biasa, setiap kali mengantar penyewa payung, Nano lebih suka pilih jalan di samping orang yang diantar. Pikir anak itu, lebih baik dirinya yang basah kuyup diguyur hujan daripada orang yang menyewa payungnya ikut basah. Bukankah setangkai payung bila digunakan untuk berdua, bisa berakibat basah pada pundak masing-masing orang yang membawanya? Sejurus kemudian, Ibu muda tadi telah sampai pada tempat tujuan. Yaitu di jalur bus jurusan Pekalongan, Jawa Tengah.
“Ini.Dik ! Terima kasih, ya…?”selembar uang lima ribuan segera berpindah ke tangan Nano.
“Terima kasih, Bu. Ini kembalinya!”sahut Nano. Anak lelaki itu segera mengulurkan uang kembaliannya.
”Tak usah. Kembaliannya untuk kamu!” seraya tersenyum, wanita berparas cantik tadi berkata.
“Lho, Bu! Sisanya kan masih banyak? ”
“Ya. Ambillah untuk kamu!”
Nano melongo. Heran bercampur senang. Sama sekali dia tak pernah menyangka kalau siang itu akan datang dua kali rezeki nomplok kepadanya.
“Bu…….!”mulut Nano menganga.
Ibu muda tadi tetap tak mau menerima uang kembaliannya. Bahkan segera berlalu dari Nano.Dari pengalaman tersebut, Nano sangat bersyukur kepada sang Pencipta.“Tuhan! Terima kasih atas kemurahanMu !”kedua tangan anak itu tengadah tinggi-tinggi ke langit. ***
Kak Sardono SyariefE-mail: sardonosyarief@yahoo.co.id
Kurikulum Pendidikan dan Antikorupsi
Posted: 15 May 2009 09:58 AM PDT
Indonesia “Republik Korupsi”? Ya, idiom itu memang bisa menjadi sebuah stigma yang amat tidak nyaman bagi warga bangsa yang masih memiliki nurani. Namun, cobalah raba dan rasakan denyutnya! Betapa proses anomali sosial bernama korupsi itu sudah demikian deras mengalir di berbagai lini dan lapis kehidupan, mulai pusat hingga daerah. Sekat-sekat kehidupan di negeri ini (nyaris) tidak lagi menyisakan spase yang nyaman untuk tidak berbuat korup.
Terakhir, sejumlah LSM, seperti Brigade Pemburu Koruptor (BPK), Koalisi Anti Utang (KAU), dan Center for Local Government Reform (Celgor), mengungkap adanya dugaan aliran dana BI sebesar Rp2,6 miliar dan US$145.895 kepada anggota parlemen. Bentuknya bisa macam-macam; bantuan partisipasi, bantuan perjalanan, bantuan hubungan baik, bantuan pengobatan kesehatan, bantuan kehiatan, bantuan apresiasi dan representasi, bantuan pembahasan RUU, bantuan Badan Kelengkapan dan Komisi XI, atau bantuan stake holder eksternal.
Menggunakan dana BI konon bukan kali ini saja dilakukan anggota parlemen yang terhormat itu. Sebelumnya, juga ada skandal aliran dana BI jilid I. Saat itu, miliaran rupiah dana BI mengalir ke kantong-kantong anggota dewan untuk memuluskan proses UU BI pada periode 1999-2003. Belum lagi ceceran cek di kalangan anggota dewan dalam proses legislasi beberapa waktu lalu yang menghebohkan. Kasus korupsi di DPR memang rumit. Dia terasa, tapi sulit dibuktikan. Dia tercium, tapi secepat kilat bisa diendapkan. Berbagai kekebalan yang dimiliki anggota dewan, turut menenggelamkannya. (Silakan baca di sini!)
Namun, Badan Kehormatan DPR (BK DPR) kebakaran jenggot ketika Slank dengan gaya khasnya, slengekan dan kritis, menyindirnya lewat lirik “Gosip Jalanan”. Tegang dan merasa benar-benar dihinakan. Ketegangan bapak-bapak yang terhormat itu baru mereda setelah terbetik berita bahwa salah seorang anggota Komisi IV DPR RI diciduk oleh KPK. Wakil rakyat itu diduga terlibat dalam tindak pidana suap senilai Rp3 miliar untuk memuluskan pengalihan hutan lindung menjadi hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). (Silakan baca di sini!) Sungguh, keterlaluan!
Kita jadi benar-benar cemas dan prihatin. Kenapa para wakil rakyat yang terhormat yang seharusnya menjadi pioner dan teladan dalam menginternalisasi dan menerapkan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi, justru malah menjadi biang kebobrokan dan berbagai perilaku korup lainnya. Bukankah mereka yang telah dengan suntuk membuat undang-undang? Mengapa mereka justru tidak segan-segan untuk meludahi produk undang-undang yang telah mereka buat? Apakah memang mereka sedang melakukan “balas dendam” terhadap modal material dan sosial yang telah mereka keluarkan untuk menggapai kursi Senayan? Kalau itu memang benar, pemilu yang selama ini kita laksanakan tak lebih hanya sekadar melahirkan “anak-anak durhaka” yang bisa membunuh ibu pertiwi sebagai “ibu kandung”-nya.
Kita pun jadi makin prihatin dan cemas, adakah pengusutan dapat dilakukan dengan tuntas dan adil? Cukup tersediakah aparat penegak hukum yang bersih untuk mengusutnya dengan adil, tepat, dan benar? Dan sampai kapan akan selesai?
Negeri kita telah lama dikenal sebagai negeri yang kaya. Namun, pemerintahnya banyak utang dan rakyatnya pun terlilit dalam kemiskinan permanen. Sejak zaman pemerintahan kerajaan, kemudian zaman penjajahan, dan hingga zaman modern dalam pemerintahan NKRI dewasa ini, kehidupan rakyatnya tetap saja miskin. Akibatnya, kemiskinan yang berkepanjangan telah menderanya bertubi-tubi sehingga menumpulkan kecerdasan dan masuk terjerembab dalam kurungan keyakinan mistik, fatalisme, dan selalu ingin mencari jalan pintas.
Kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena kenyataan dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya. Banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru. Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat.
Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi kehidupan mereka saja. Sebaliknya, mereka lebih percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana. Mereka memuja dan selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat, baik kekuasaan maupun kekayaan. Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.
Sungguh demikian parahkah perilaku korup di sebuah negeri yang pernah diagung-agungkan sebagai bangsa yang santun, beradab, dan berbudaya? Haruskah negeri ini hancur dan tenggelam ke dalam kubangan dan lumpur korupsi hingga akhirnya loyo dan tak berdaya dalam menghadapi tantangan peradaban?
Berdasarkan fakta ironis semacam itu, masuk akal juga kalau ada yang pernah menggulirkan wacana pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi didasarkan pertimbangan bahwa pemberantasan korupsi mesti dilakukan secara integratif dan simultan yang mesti berjalan beriringan dengan tindakan represif terhadap koruptor. Karena itulah, pendidikan antikorupsi mesti didukung. Jangan sampai timbul keawaman terhadap korupsi dan perilaku koruptif.
Pendidikan antikorupsi perlu dirancang agar menggunakan pijakan multikutural sebagai basisnya karena banyaknya perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun kebudayaan. Dalam model multikulturalisme, masyarakat dilihat sebagai sebuah kepingan unik dari sebuah mosaik besar. Konsep multikulturalisme tidak sama dengan pluralisme. Pluralisme menekankan pengakuan dan penghormatan kepada adanya keragaman budaya dan suku bangsa, juga agama. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam persamaan derajat.
Pendidikan antikorupsi berbasis multikultural mengandaikan domain bangsa sebagai arena yang dipenuhi bermacam tipe manusia. Pendidikan antikorupsi berbasis multikultur didasari konsep perbedaan yang unik pada tiap orang. Setiap orang memperoleh peluang pembelajaran sesuai keunikannya. Pendidikan ini dikelola sebagai sebuah dialog, sehingga tumbuh kesadaran dari setiap warga akan pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sampai tingkat lanjut menumbuhkan kesadaran kolektif, untuk secara bersama memberantas korupsi.
Memang sudah saatnya dunia pendidikan kita disentuh oleh persoalan-persoalan riil yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ketika perilaku korupsi sudah demikian mengakar di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, sudah seharusnya para siswa didik yang kelak akan menjadi penentu masa depan negeri ini, diperkenalkan dengan masalah-masalah korupsi untuk selanjutnya diajak bersama-sama memberikan sebuah pencitraan bahwa korupsi harus menjadi public enemy yang harus dihancurkan bersama. Para siswa didik perlu tahu betapa berbahayanya perilaku koprusi itu sehingga mereka diharapkan memiliki filter yang amat kuat untuk tidak tergoda melakukan tindakan-tindakan korup.
Persoalannya sekarang, perlukah pendidikan antikorupsi dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran tersendiri? Ya, pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab, sebab jangan sampai kita mengulang bentuk-bentuk indoktrinasi yang cenderung dogmatis seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Penataran P4, misalnya, demikian masif dilaksanakan di segenap lapis birokrasi dan institusi, tetapi kenyataannnya justru pengamalan Pancasila hanya sekadar menjadi sebuah kekenesan dan kelatahan; tanpa merasuk ke dalam roh dan jiwa.
Selain itu, korupsi sebenarnya merupakan persoalan kompleks dan rumit yang mencakup ranah hukum, sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun agama. Realitas sosial yang timpang, kemiskinan rakyat yang meluas serta tidak memadainya gaji dan upah yang diterima seorang pekerja, merebaknya nafsu politik kekuasaan, budaya jalan pintas dalam mental suka menerabas aturan, serta depolitisasi agama yang makin mendangkalkan iman, semuanya itu telah membuat korupsi semakin subur dan sulit diberantas, selain karena banyaknya lapisan masyarakat dan komponen bangsa yang terlibat dalam tindak korupsi. Karena itu, dekonstruksi sosial tak bisa diabaikan begitu saja dan kita perlu merancang dan mewujudkannya dalam masyarakat baru yang antikorupsi.
Nah, agaknya akan sia-sia saja pendidikan antikorupsi masuk ke dalam kurikulum pendidikan secara formal kalau tidak diimbangi dengan proses dekonstruksi sosial secara simultan. Berbagai komponen masyarakat perlu menjadikan perilaku korupsi ini sebagai tindakan paling “bangsat” yang bisa menyengsarakan hajat hidup rakyat banyak. Supremasi hukum harus jalan. Para pengemplang duwit rakyat yang nyata-nyata terbukti korupsi harus dikerangkeng di penjara untuk menimbulkan efek jera. Seiring dengan itu, para siswa didik juga perlu diajak berdialog dan mengikuti proses pembelajaran secara terbuka dan interaktif melalui pemaparan perilaku korupsi dan dampaknya bagi masyarakat luas. Dengan cara begitu, perilaku antikorupsi dengan sendirinya akan masuk ke dalam ranah nurani dan jiwa siswa didik sehingga kelak mereka benar-benar menjadi generasi masa depan yang bersih dan berwibawa. Jadi, tidak perlu lagi diformalkan ke dalam kurikulum. Nah, bagaimana? ***

Tidak ada komentar: